“Saya akan bangun stadion sepak bola dengan lampu-lampu penerangan agar bisa bermain malam hari,” demikian tutur Sri Susuhunan Paku Buwono X, raja Kerajaan Surakarta saat akan menjadi penendang bola pertama, pertandingan resmi Kejuaarn PSSI (turnamen) yang pertama kalinya tahun 1931. Bahkan, Sri Susuhunan, juga akan memberi piala tetap bernama Sunan’s Beker Cup, bagi bond yang mampu merebut gelar juara lima kali berturut-turut.
Dan, dalam waktu tidak kurang dari tiga tahun, maka pada saat Kejuaraan PSSI tahun 1933, Stadion Sriwedari Solo mampu dibangun dengan megah, dan puncaknya VVB – Voerstenlandsche Voetbal Bond Solo yang berubah menjadi Persis Solo mampu meraih gelar juara pertama kalinya, saat berlangsung di Semarang tahun 1935.
Awal kejuaraan yang digelar PSSI 1931, awalnya pihak NIVB –Nederlandsche Indische Voetbal Bond masih memperbolehkan pemain Belanda bermain di Kejuaran PSSI. Namun, tahun 1932 melarang pemain belanda memperkuat bond-bond lokal. Dari situlah muncul anak-anak muda yang mampu menjadi bintanya, misalnya dua bek berbakat SARIN dan RACHIM dan BASIR dalam tim Jakarta – VIJ (Jakartavoetbal Bond Indonesia Jakarta).
Perkembangan kompetisi/turnamen sepak bola Indonesia, mengikuti perkembangan politik di Tanah Air, mengingat sebagai alat perjuangan. Maka, pergerakannya mengikuti arus yang sama, hingga saat KNIL menyerah kepada tentara Jepang, 9 Maret 1942. Hingga, akhirnya, didengungkannya lagu Indonesia Raya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Puncaknya, dengan Indonesia yang sudah merdeka, pergaulan sepak bola Indonesia di dunia sangat menarik semua yang tergerak agar Indonesia masuk dalam pergaulan internasional. Bersamaan dengan itu, tokoh-tokoh pejuang, sepertinya juga bergerak agar wadah olah raga di Indonesia bisa terbentuk, sehingga semua cabang olahraga bisa dinaungi. Maka, tokoh seperti Dr. Abdulrachman Saleh mampu mengumpulkan tokoh-tokoh pejuang yang cinta olah raga untuk melakukan kongres olahraga di Surakarta, 18-19 Januari 1947, dengan mendirikan Persatuan Olahraga RI (PORI) yang kini menjadi KONI – COI, menggantikan GELORA yang sejarahnya dibentuk oleh penjajah Jepang – bernama Tai Iku Kai.
Dengan lahirnya PORI, pihak PSSI bersama PORI sepertinya bergerak cepat, dengan meminta agar PSSI bisa diakui oleh lembaga sepak bola dunia FIFA. Dengan perjuangan yang sangat berat, tanggal 9 Februari 1949 – utusan Indonesia mampu menerobos blakade politik Belanda yang tak mau menyerah begitu saja dengan Indonesia, untuk menghalangi Indonesia bergabung ke FIFA.
Namun, perjalanan sekaligus perjuangan yang tanpa lelah, atas usaha ketum PSSI-nya Belanda KNVB - KJJ Lotsy yang mencoba negosiasi dengan sekjen FIFA K. Gassmanu, dengan melampirkan surat-surat lampirang AD/ART PSSI, maka dalam ratifikasi Kongres FIFA 1952 di Helsinki, Finlandia – Indonesia diterima sebagai anggota FIFA – dengan surat tertanggal 1 November 1951 di markas besar FIFA di Zurich, Swiss.
PERSIB BANDUNG PELOPOR
Perjalanan sepak bola Indonesia, sejak jaman kemerkedaan hingga memasuki penghujung akhir abad 20, benar-benar sebuah anugerah yang tiada tara. Selain Indonesia mampu menjadi negara merdeka, juga mampu ikut dalam pergaulan internasional di FIFA. Maka, kompetisi yang dibangun sejak akhir 50-an sampai pada akhir 90-an, merupakan cermin dari ikutnya Indonesia sebagai anggota FIFA.
Dengan tingkat kesulitan antara berkompetisi atau mengikikuti konsep region dimana masalah geografis menjadi kendala. Maka, perkembangan kompetisi sepak bola di Indonesia, selalu berakhir dengan sebuah turnamen yang puncaknya ada partai final. Sistem pembagian wilayah agar tetap bisa berkompetisi, dan kemudian diambil dua besar atau tiga besar dari sistem kompetisi wilayah, akhirnya menjadi resmi sebagai lahirnya Kompetisi PSSI, dengan sistem ada partai final.
Puncaknya, ketika awal tahun 1980-an, kompetisi PSSI Perserikatan menjadi super glamour, dengan hadirnya Persib Bandung yang secara tidak sadar, mampu membius dan memboyong suporternya ke Jakarta, saat lolos sebagai anggota ‘6 Besar’ PSSI Perserikatan. Ini era lahirnya dinasti Persib Bandung memunculkan, seperti Sobur, Encas Tonip, Adeng Hudaya, Jajang Nurjaman, Sukowiyono, Wolter Sulu, Robby Darwis, Adjat Sudradjat, Yusuf Bachtiar, Dede Iskandar dan Sutiono Lamso (satu-satunya pemain bukan asli orang Sunda), yang diarsiteki oleh Indra Tohir.
Dan, musuh bebuyutannya justru bukan Persija Jakarta atau Persebaya Surabaya atau PSM Ujungpandang (saat itu sebelum diganti Makassar), melainkan justru PSMS Medan. Tim ‘Ayam Kinantan’ ini mampu menjadi pemicu hadirnya yang namanya “Bobotoh Maung Bandung” (belum ada nama suporter, atau kelompok suporter). Semua pendukung Persib adalah bobotoh. PSMS Medan saat itu diperkuat Ponirin Meka, Sunardi A, Sunardi B, Zulham Effendi, M. Sidik, Musimin, Suherman, Abdulrachman Gurning.
Hanya dalam dua musim, pertarungan final PSMS Medan vs Persib Bandung di kejuraan PSSI Perserikatan 1983 dan 1985, ternyata momentum lahirnya sebuah suporter, benar-benar tak pernah diduga sebelumnya. Bayangkan, tahun tanggal 23 Februari 1985 saat itu, stadion Utama Senayan Jakarta, mampu mencatat rekor yang sampai hari ini belum pernah terlampui rekornya dalam kompetisi AMATIR, dengan 150 ribu penonton tumplek blek ke stadion kebanggan Indonesia ini. Saat itu, 100 ribunya adalah Bobotoh Maung Bandung.
CONTOH JELEK
Dalam sejarah kompetisi dan turnamen di jaman perserikatan, ada dua contoh yang sangat jelek, sekaligus tak mampu membangun konsep yang dijadikan kampanye sepak bola, yaitu FAIRPLAY. Kedua peristiwa ini berbeda kasusnya, namun menurut CN keduanya justru mencatat ‘tinta hitam’ sejarah sepak bola nasional.
Yang pertama, tahun 1975 di jaman ketua umum PSSI adalah Bardosono, dimana gelar juara PSSI Perserikatan diberikan kepada dua tim yaitu Persija Jakarta dan PSMS Medan, saat final berlangsung di Stadion Utama Senayan, 8 November 1975. Berawal pada menit ke-40, dalam kedudukan 1 – 1, setelah Parlin Siagian mencetak gol menit ke-10 dan dibalas Sofyan Hadi menit 26. Namun, pertarungan menjadi super brutal, dan akhirnya wasit menghentikan pertandingan. Karena suasana sangat brutal di lapangan, sementara penonton mampu mencapai 100 ribu di dalam stadion. Akhirnya, Bardosono memutuskan pertandingan dihentikan, dan langsung keduanya dianugerahi gelar JUARA BERSAMA.
Saat itu, kedua tim tersebut adalah memiliki materi yang sama-sama memperkuat tim nasional Indonesia. Di Persija Jakarta ada Yudho Hadiyanto, Sueb Rizal, Oyong Liza, Harry Muyanto, Iswadi Idris, Junaedi Abdullah, Sofyan Hadi, Anjas Asmara, Risdianto. Sementara di PSMS Medan bercokol, Ronny Paslah, Nobon, Parlin Siagian, Suwarno, Zulkarnaen, Sarman Pangabean, Tumsila.
Peristiwa kedua, adalah ‘SEPAK BOLA GAJAH’, yang terjadi tanggal 21 Februari 1988, di mana Stadion 10 November Surabaya menjadi saksi bisu, ketika tuan rumah Persebaya Surabaya menyerah 0 – 12 atas Persipura Jayapura, hanya untuk membuang PSIS Semarang, agar tidak masuk ‘6 Besar’ ke Jakarta. Ketidak-sportif-nya Persebaya Surabaya ini, buntut dari musim sebelum 1986-87, saat Persebaya yang saat itu benar-benar super favorit kalah di final atas PSIS Semarang. Sehingga, menurut CN manajemen Persebaya Surabaya sepertinya takut, jika PSIS kembali lolos ke ‘6 Besar’ musim 1987-1988.
Saat itu, Persebaya Surabaya benar-benar sebuah tim yang menakutkan, seperti I Gede Putu Yasa, Subangkit, Budi Yohanes, Aries Sainyakit, Yongki Kastanya, Samsul Arifin, Muharom Rosdiana, Mustaqiem. Bahkan saat itu, Persebaya Surabaya punya julukan baru yaitu GREEN FORCE, namun dalam waktu yang bersamaan juga melahirkan BONEK, setelah tiga empat musim sebelumnya, mencontoh suporter Persib Bandung yang memadati Stadion Utama Senayan saat itu.
Hingar bingarnya kompetisi yang bercampur turnamen ini, merupakan tapak tilas peninggalan sejarah sepak bola sebagai alat perjuangan. Perjalanan waktu, dengan sistem modernisasi sepak bola di kawasan Asia dan dunia, termasuk dalam regulasi AFC dan FIFA, akhirnya memberikan pembelajaran yang luar biasa. Bahkan, menurut CN - semrawutnya organisasi dan juga pembinaan sepak bola Indonesia di awal abad milinium ketiga ini, sudah memiliki ‘api sekam’ di jaman perserikatan yang tidak memiliki konsep dan misi visi kea rah profesional. Dan, menunggu meledaknya saja. (Bersambung – Episode Ketiga)
Erwiyantoro
Pencinta Sepak Bola Indonesia
Dan, dalam waktu tidak kurang dari tiga tahun, maka pada saat Kejuaraan PSSI tahun 1933, Stadion Sriwedari Solo mampu dibangun dengan megah, dan puncaknya VVB – Voerstenlandsche Voetbal Bond Solo yang berubah menjadi Persis Solo mampu meraih gelar juara pertama kalinya, saat berlangsung di Semarang tahun 1935.
Awal kejuaraan yang digelar PSSI 1931, awalnya pihak NIVB –Nederlandsche Indische Voetbal Bond masih memperbolehkan pemain Belanda bermain di Kejuaran PSSI. Namun, tahun 1932 melarang pemain belanda memperkuat bond-bond lokal. Dari situlah muncul anak-anak muda yang mampu menjadi bintanya, misalnya dua bek berbakat SARIN dan RACHIM dan BASIR dalam tim Jakarta – VIJ (Jakartavoetbal Bond Indonesia Jakarta).
Perkembangan kompetisi/turnamen sepak bola Indonesia, mengikuti perkembangan politik di Tanah Air, mengingat sebagai alat perjuangan. Maka, pergerakannya mengikuti arus yang sama, hingga saat KNIL menyerah kepada tentara Jepang, 9 Maret 1942. Hingga, akhirnya, didengungkannya lagu Indonesia Raya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Puncaknya, dengan Indonesia yang sudah merdeka, pergaulan sepak bola Indonesia di dunia sangat menarik semua yang tergerak agar Indonesia masuk dalam pergaulan internasional. Bersamaan dengan itu, tokoh-tokoh pejuang, sepertinya juga bergerak agar wadah olah raga di Indonesia bisa terbentuk, sehingga semua cabang olahraga bisa dinaungi. Maka, tokoh seperti Dr. Abdulrachman Saleh mampu mengumpulkan tokoh-tokoh pejuang yang cinta olah raga untuk melakukan kongres olahraga di Surakarta, 18-19 Januari 1947, dengan mendirikan Persatuan Olahraga RI (PORI) yang kini menjadi KONI – COI, menggantikan GELORA yang sejarahnya dibentuk oleh penjajah Jepang – bernama Tai Iku Kai.
Dengan lahirnya PORI, pihak PSSI bersama PORI sepertinya bergerak cepat, dengan meminta agar PSSI bisa diakui oleh lembaga sepak bola dunia FIFA. Dengan perjuangan yang sangat berat, tanggal 9 Februari 1949 – utusan Indonesia mampu menerobos blakade politik Belanda yang tak mau menyerah begitu saja dengan Indonesia, untuk menghalangi Indonesia bergabung ke FIFA.
Namun, perjalanan sekaligus perjuangan yang tanpa lelah, atas usaha ketum PSSI-nya Belanda KNVB - KJJ Lotsy yang mencoba negosiasi dengan sekjen FIFA K. Gassmanu, dengan melampirkan surat-surat lampirang AD/ART PSSI, maka dalam ratifikasi Kongres FIFA 1952 di Helsinki, Finlandia – Indonesia diterima sebagai anggota FIFA – dengan surat tertanggal 1 November 1951 di markas besar FIFA di Zurich, Swiss.
PERSIB BANDUNG PELOPOR
Perjalanan sepak bola Indonesia, sejak jaman kemerkedaan hingga memasuki penghujung akhir abad 20, benar-benar sebuah anugerah yang tiada tara. Selain Indonesia mampu menjadi negara merdeka, juga mampu ikut dalam pergaulan internasional di FIFA. Maka, kompetisi yang dibangun sejak akhir 50-an sampai pada akhir 90-an, merupakan cermin dari ikutnya Indonesia sebagai anggota FIFA.
Dengan tingkat kesulitan antara berkompetisi atau mengikikuti konsep region dimana masalah geografis menjadi kendala. Maka, perkembangan kompetisi sepak bola di Indonesia, selalu berakhir dengan sebuah turnamen yang puncaknya ada partai final. Sistem pembagian wilayah agar tetap bisa berkompetisi, dan kemudian diambil dua besar atau tiga besar dari sistem kompetisi wilayah, akhirnya menjadi resmi sebagai lahirnya Kompetisi PSSI, dengan sistem ada partai final.
Puncaknya, ketika awal tahun 1980-an, kompetisi PSSI Perserikatan menjadi super glamour, dengan hadirnya Persib Bandung yang secara tidak sadar, mampu membius dan memboyong suporternya ke Jakarta, saat lolos sebagai anggota ‘6 Besar’ PSSI Perserikatan. Ini era lahirnya dinasti Persib Bandung memunculkan, seperti Sobur, Encas Tonip, Adeng Hudaya, Jajang Nurjaman, Sukowiyono, Wolter Sulu, Robby Darwis, Adjat Sudradjat, Yusuf Bachtiar, Dede Iskandar dan Sutiono Lamso (satu-satunya pemain bukan asli orang Sunda), yang diarsiteki oleh Indra Tohir.
Dan, musuh bebuyutannya justru bukan Persija Jakarta atau Persebaya Surabaya atau PSM Ujungpandang (saat itu sebelum diganti Makassar), melainkan justru PSMS Medan. Tim ‘Ayam Kinantan’ ini mampu menjadi pemicu hadirnya yang namanya “Bobotoh Maung Bandung” (belum ada nama suporter, atau kelompok suporter). Semua pendukung Persib adalah bobotoh. PSMS Medan saat itu diperkuat Ponirin Meka, Sunardi A, Sunardi B, Zulham Effendi, M. Sidik, Musimin, Suherman, Abdulrachman Gurning.
Hanya dalam dua musim, pertarungan final PSMS Medan vs Persib Bandung di kejuraan PSSI Perserikatan 1983 dan 1985, ternyata momentum lahirnya sebuah suporter, benar-benar tak pernah diduga sebelumnya. Bayangkan, tahun tanggal 23 Februari 1985 saat itu, stadion Utama Senayan Jakarta, mampu mencatat rekor yang sampai hari ini belum pernah terlampui rekornya dalam kompetisi AMATIR, dengan 150 ribu penonton tumplek blek ke stadion kebanggan Indonesia ini. Saat itu, 100 ribunya adalah Bobotoh Maung Bandung.
CONTOH JELEK
Dalam sejarah kompetisi dan turnamen di jaman perserikatan, ada dua contoh yang sangat jelek, sekaligus tak mampu membangun konsep yang dijadikan kampanye sepak bola, yaitu FAIRPLAY. Kedua peristiwa ini berbeda kasusnya, namun menurut CN keduanya justru mencatat ‘tinta hitam’ sejarah sepak bola nasional.
Yang pertama, tahun 1975 di jaman ketua umum PSSI adalah Bardosono, dimana gelar juara PSSI Perserikatan diberikan kepada dua tim yaitu Persija Jakarta dan PSMS Medan, saat final berlangsung di Stadion Utama Senayan, 8 November 1975. Berawal pada menit ke-40, dalam kedudukan 1 – 1, setelah Parlin Siagian mencetak gol menit ke-10 dan dibalas Sofyan Hadi menit 26. Namun, pertarungan menjadi super brutal, dan akhirnya wasit menghentikan pertandingan. Karena suasana sangat brutal di lapangan, sementara penonton mampu mencapai 100 ribu di dalam stadion. Akhirnya, Bardosono memutuskan pertandingan dihentikan, dan langsung keduanya dianugerahi gelar JUARA BERSAMA.
Saat itu, kedua tim tersebut adalah memiliki materi yang sama-sama memperkuat tim nasional Indonesia. Di Persija Jakarta ada Yudho Hadiyanto, Sueb Rizal, Oyong Liza, Harry Muyanto, Iswadi Idris, Junaedi Abdullah, Sofyan Hadi, Anjas Asmara, Risdianto. Sementara di PSMS Medan bercokol, Ronny Paslah, Nobon, Parlin Siagian, Suwarno, Zulkarnaen, Sarman Pangabean, Tumsila.
Peristiwa kedua, adalah ‘SEPAK BOLA GAJAH’, yang terjadi tanggal 21 Februari 1988, di mana Stadion 10 November Surabaya menjadi saksi bisu, ketika tuan rumah Persebaya Surabaya menyerah 0 – 12 atas Persipura Jayapura, hanya untuk membuang PSIS Semarang, agar tidak masuk ‘6 Besar’ ke Jakarta. Ketidak-sportif-nya Persebaya Surabaya ini, buntut dari musim sebelum 1986-87, saat Persebaya yang saat itu benar-benar super favorit kalah di final atas PSIS Semarang. Sehingga, menurut CN manajemen Persebaya Surabaya sepertinya takut, jika PSIS kembali lolos ke ‘6 Besar’ musim 1987-1988.
Saat itu, Persebaya Surabaya benar-benar sebuah tim yang menakutkan, seperti I Gede Putu Yasa, Subangkit, Budi Yohanes, Aries Sainyakit, Yongki Kastanya, Samsul Arifin, Muharom Rosdiana, Mustaqiem. Bahkan saat itu, Persebaya Surabaya punya julukan baru yaitu GREEN FORCE, namun dalam waktu yang bersamaan juga melahirkan BONEK, setelah tiga empat musim sebelumnya, mencontoh suporter Persib Bandung yang memadati Stadion Utama Senayan saat itu.
Hingar bingarnya kompetisi yang bercampur turnamen ini, merupakan tapak tilas peninggalan sejarah sepak bola sebagai alat perjuangan. Perjalanan waktu, dengan sistem modernisasi sepak bola di kawasan Asia dan dunia, termasuk dalam regulasi AFC dan FIFA, akhirnya memberikan pembelajaran yang luar biasa. Bahkan, menurut CN - semrawutnya organisasi dan juga pembinaan sepak bola Indonesia di awal abad milinium ketiga ini, sudah memiliki ‘api sekam’ di jaman perserikatan yang tidak memiliki konsep dan misi visi kea rah profesional. Dan, menunggu meledaknya saja. (Bersambung – Episode Ketiga)
Erwiyantoro
Pencinta Sepak Bola Indonesia
0 komentar :
Posting Komentar